Thursday, 27 November 2014

Antara Hawa Nafsu dan Syariat Allah

Antara Hawa Nafsu dan Syariat Allah

Pernah denger nggak sih, kalimat semisal ini?

“Jangan kayak gitulah, kalo gitu sih terlalu ekstrim”

“Islam itu kan toleran, mudah, nggak nyusah-nyusahin, fleksibel”

Kalimat yang begini, bila diucapkan oleh seorang ulama yang mengerti tentang agama tentu sesuatu yang baik, sesuatu yang benar. Tapi seringnya kalimat-kalimat semisal ini keluar dari lisan orang-orang yang malas dan nggak serius mempelajari Islam, untuk membenarkan kesalahan yang dia lakukan, untuk memilah-memilih hukum mana yang dia suka dan mengabaikan hukum yang tidak dia suka atau bertentangan dengan perbuatannya.

Misalnya, seringkali saya menyampaikan tentang haramnya riba dan turunannya seperti KPR, leasing, kartu kredit, serta haramnya beberapa transaksi ekonomi lain seperti asuransi dan perdagangan saham, biasanya yang keluar dari orang yang begini,

“Jangan kayak gitulah, kalo gitu sih terlalu ekstrim”

Tidak terjadi hal semisal itu ketika saya menjelaskan pada masyarakat tentang keutamaan berpuasa sunnah, rajin bersedekah, semangat dalam menghapal Al-Qur’an, memperbanyak shalat malam dan sunnah-sunnah nawafil lainnya.

Mengapa bisa begitu?

Memang kita hidup dalam masyarakat yang menjadikan dirinya sendiri dan nafsunya menjadi standar atas baik dan buruk, atas halal dan haram, bukan Allah yang menentukannya.

Sesuatu yang menurut dia baik lantas dikatakan baik, sesuatu yang dia belum melakukannya atau dia belum mau melakukannya, maka dikatakan ekstrim. Sayangnya dia sendiri malas dan lalai dalam mempelajari agama.

Lucunya, terkadang ulama yang jelas lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mempelajari agama Islam, dan jelas lebih mengetahui apa yang kebanyakan manusia tidak mengetahui tentang perkara agama, bisa dihukumi “sesat” atau “tidak sesat” oleh segolongan manusia berdasarkan hawa nafsunya.

Hampir-hampir mirip dengan sifat kaum Yahudi yang ketika didatangkan seorang Rasul bagi mereka, bila Rasul itu menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan hawa nafsu mereka, maka mereka mendebat bahkan membunuh Rasul itu. Bedanya dengan sekarang, baru sebatas pembunuhan karakter.

Sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Bani Israil, dan telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul. Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh (QS Al-Maaidah [5]: 70)

Ceritanya, ada orang yang masih berkutat dengan riba, bahkan hidup dari sana. Sudah umum juga diketahui bahwa seringkali dia melibatkan suap dalam melancarkan bisnisnya. Dan, suatu waktu ada ulama yang menyampaikan haramnya riba dan suap, maka dia katakan

“Wah, itu ustadz ekstrim, salah tuh, terlalu menghakimi dan terlalu keras”

Nah, jadi sekarang yang “Ustadz” yang mana sih, dia atau yang sudah belajar? Jadi, yang “terlalu menghakimi” dan “terlalu keras” siapa?

Agama Islam ini memang agama yang mengatur seluruh kehidupan manusia, karena datang dari Allah yang Maha Mengatur. Memang ada beberapa hal di dalam Islam yang hukumnya syubhat (abu-abu) atau ada ikhtilaf (perbedaan) ulama dalam memandang hukumnya. Namun lebih banyak lagi di dalam agama ini yang sudah jelas-jelas hukumnya didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah qalbu (HR Bukhari Muslim)

Semua tertulis jelas hukumnya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, kalau saja kita mau belajar mengerti dan memahami hal tersebut.

“Tapi kan nggak semua orang yang bisa paham itu? Baca Al-Qur’an dan As-Sunnah pun harus ada penjelasannya kan?”

Betul sekali, karena itu mulailah belajar. Minimal sediakan tafsir Al-Qur’an sebagai teman dalam membaca Al-Qur’an, setelah tilawah, lanjut dengan merenungi arti serta tafsirnya, dan diskusikan dengan ahli ilmunya bila masih ada yang kurang memahami.

Beli buku yang berkaitan dengan masalah yang kita ingin kuasai, datangi majlis-majlis ilmu yang membahasnya, atau bahkan undanglah yang memiliki ilmunya untuk membahasnya bersama-sama.
Tapi tidak dengan mengatakan,

“Islam itu kan toleran, mudah, nggak nyusah-nyusahin, fleksibel”

Lalu dia menyerahkan definisi “toleran-mudah-nggak susah-fleksibel” itu sesuai dengan dia, tanpa ilmu, tanpa pengetahuan, sehingga sudah pasti akan menuju jalan kesesatan.

Terus terang, saya lebih kagum dan respek pada beberapa teman yang masih bermaksiat namun sadar bahwa mereka bermaksiat, sadar bahwa mereka salah. Hanya perlu dukungan dan waktu saja, dan tentu izin dan hidayah Allah agar mereka mau berubah ke arah yang baik. Karena kesadaran akan kebenaran itu sudah setengah dari kebaikan.

Ada yang tahu kerudung punuk unta itu dilarang, tapi masih menggunakannya, tapi dia sadar betul dan mau untuk mengubah penampilannya, hanya masih belum yakin, hanya masih perlu waktu.

Ada yang masih pacaran, tapi kemana-mana bilang haramnya pacaran. Bukan karena niat yang salah atau sengaja, tapi mungkin masih belum yakin, setan munafik masih ada di dalam hatinya, mungkin masih perlu waktu dan dukungan.

Ada yang masih makan riba, tapi sadar perbuatannya salah, lalu mengundang para asatidz datang ke kantornya, untuk ceramah haramnya transaksi riba. Niatnya sudah ada namun perlu penguatan. Mungkin dia ingin sama-sama karyawanya keluar dari kantor yang penuh riba.

Semua yang begini, kita hormati dan respek, kita dukung dan kita dampingi. Karena kesadaran dan niat sudah ada, kita tinggal memperbesar kesadaran dan niatan itu.

Yang jelas, beda dengan yang kita bahas di depan. Sudahlah salah, malah menyalahkan hukumnya Allah, malah menyalahkan ulama yang membawakan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan malah menuntut agar syariat Islam disesuaikan dengan nafsunya.

Lalu yang jadi Tuhan siapa? Allah atau manusia?

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (QS Al-Furqaan [25]: 43)

Hanya kepada Allah tentu kita menyembah, artinya hanya pada Allah seluruh ketaatan atas peraturan. Kalaulah kita belum bisa melaksanakannya, maka berdoalah semoga kita diberi kemampuan untuk melaksanakannya, dan keseriusan dalam melaksanakannya.

Janganlah kita jadi orang yang menentang, bahkan menjadikan diri kita sebagai pembuat aturan setelah Allah menurunkan syariat yang jelas yaitu Islam. Tugas kita memahami aturan Allah bukan membuat aturan, mencari dalil halal-haram bukan membuat dalil halal-haram.

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (QS Al-Jaatsiyah [45]: 18)

Untuk beberapa pembahasan tentang transaksi ekonomi yang saya sebutkan diatas, boleh membaca beberapa artikel dibawah ini, atau silakan cari referensi-referensi lain yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

http://konsultasi.wordpress.com/2008/11/20/riba-definisi-hukum-dan-macamnya/
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/leasing-sepeda-motor/
http://konsultasi.wordpress.com/2010/01/29/bolehkah-memanfaatkan-kartu-kredit/
http://konsultasi.wordpress.com/2007/09/14/jual-beli-saham-dalam-pandangan-islam/
http://konsultasi.wordpress.com/2012/05/22/hukum-asuransi-syariah/

Disalin dari : http://felixsiauw.com/home/antara-hawa-nafsu-dan-syariat-allah/

Related Articles

0 comments:

Post a Comment