Thursday 13 August 2015

Refleksi Diri

Sabtu, 8 Agustus.

Sabtu malam itu terasa sangat membosankan, kenyataan bahwa esok adalah hari Minggu pun tak mampu membuat gue tersenyum. Ditengah heningnya malam yang terganggu suara nyamuk berseliweran, gadget gue berbunyi.

"PING!!!"

"Kenapa?"

"Lu diundang ga sama si anu?"

"Kaga, napa emang?"

"Dia mau merit minggu depan. Lu dateng ga?"

"Kaga! Makasih!"

Percakapan itupun gue cukupkan sampai sekian. Dan Sabtu malam pun terasa semakin dingin. Si "anu" yang dia maksud adalah seseorang yang pernah ada dalam hidup gue. Ga lama memang, tapi berita tentang pernikahnnya membuat gue jadi galau. Bukan karena kenyataan bahwa dia sekarang menjadi milik orang lain yang sah, atau karena lakinya lebih ganteng dari gue. Haha!

Kenyataan bahwa dia menyebar undangan lebih dulu adalah sebuah cambuk panas buat gue. Cemburu? Entahlah! Yang jelas gue tersadar akan suramnya hidup gue. Gue harus menerima kenyataan bahwa gue selama ini jalan ditempat. Sementara orang lain sudah menemukan arti hidupnya, gue masih sibuk mencari jati diri gue.

Tuhan sudah sangat adil untuk hal ini. Atas karunia-Nya kini dia bahagia dengan orang yang seharusnya. Yang mungkin itu ga akan terjadi kalau dia masih sama gue. Udah ah stop bahas dianya!

Sekarang balik lagi bahas soal gue.
Dari hasil sharing sama orang-orang yang berpengalaman di bidangnya, akhirnya gue dapet beberapa kesimpulan tentang apa sebenarnya yang jadi masalah gue.

Pertama.
Menurut beberapa pakar, galau yang gue rasain ada bukan galau biasa. Melainkan galau yang biasa aja. Mungkin karena hati gue yang terlalu sensitif jadi terlalu lebay buat menanggapinya.

Kedua.
Gue perlu waktu yang cukup banyak buat refreshing, menghilangkan segala penat yang timbul dari rutitinas yang mulai buat gue pengen muntah duit seratus ribuan terus gue masukin dompet buat biaya liburan. Buat merefresh kembali pikiran yang runyam.

Ketiga.
Gue harus bisa belajar ikhlas, ikhlas menerima kenyataan bahwa gue terlahir dalam keadaan yang sudah seharusnya. Bahwa gue ditakdirkan untuk berusaha lebih keras dari orang kebanyakan untuk bisa mempertahankan hidup dan harga diri gue. Dengan ikhlas, perlahan gue bisa mensyukuri semua keadaan. Mengambil hikmah dari semua kejadian yang gue alami.

Keempat.
Realistis! Ya realistis aja. Ga usah pengen segalanya bisa terjadi dengan cepat. Jalan hidup manusia sudah ditetapkan bahkan sejak masih dalam kandungan, hanya saja sejauh mana kita bisa melihat jalan itu?

So, jauhkan pikiran dari hal-hal negatif yang hanya membuat kita mengeluh dan lupa akan rasa syukur atas apa yang telah Tuhan berikan untuk kita. Tatap jalan didepanmu, dan mari tancap gas!!!

Terima kasih kawan.