Tuesday, 11 November 2014

Filosofi Sebutir Telur


Suatu ketika saya sedang menonton sebuah acara televisi. Acara tersebut menginspirasi kita sebagai umat muslim untuk melakukan tetap istiqomah dalam Islam.

Di acara tersebut hadirlah seorang bintang tamu yang namanya saya lupa, beliau adalah seorang pengusaha yang pada awalnya pernah mengalami jatuh bangun seperti halnya pengusaha-pengusaha lain. Namun yang menarik adalah ketika beliau bercerita tentang titik balik kebangkitannya sehingga sekarang beliau bisa sukses.

Awalnya beliau adalah sosok yang bisa dikatakan tidak ramah dalam berkomunikasi dengan orang lain, sehingga sempat usahanya berada dalam jurang kebangkrutan. Kemudian beliau berintrospeksi diri, sehingga akhirnya beliau menemukan sebuah filosofi dari sebutir telur.

Seperti kita tahu telur dapat dijadikan sebagai bahan makanan atau lauk pauk. Untuk dapat menikmatinya, tentu kita harus mengetuk cangkang telur agar isi telurnya dapat kita olah untuk kemudian kita makan. Selain itu, jika si telur tersebut dierami oleh induknya, atau disimpan dalam inkubator untuk ditetaskan, maka beberapa minggu kemudian akan lahir individu baru dari dalam telur tersebut. Lalu apa menariknya?

Mari kita lihat persamaan diantara keduanya. Telur yang akan dimasak dan ditetaskan, keduanya harus mengalami satu proses yang sama yaitu mengetuk cangkangnya sampai retak dan terbelah.

Akan tetapi keduanya mempunyai perbedaan. Telur yang akan dimasak diketuk dari luar, akibatnya cangkang itu hancur dan isinya dikeluarkan. Cangkangnya dibuang dan isinnya kita makan, yap. Akhirnya tidak ada yang berbekas dari telur itu. Sedangkan pada kasus telur yang ditetaskan, cangkang telur diketuk-ketuk dari dalam, kemudian retak dan sebuah kehidupan baru lahir.

Baiklah, kita cermati maknanya. Proses pecahnya cangkang telur diibaratkan sebagai sebuah proses perubahan. Ketika cangkang itu diketuk dari luar, artinya untuk mendapatkan suatu perubahan dalam diri harus dilakukan atau dipaksa oleh orang lain. Contohnya seorang anak yang tidak mau sholat kemudian dipaksa oleh orang tuannya untuk sholat, hasilnya setiap waktu sholat anak tersebut harus dipaksa oleh orang tuanya.  Tidak ada yang berbekas dari paksaan-paksaan tersebut.

Sedangkan telur yang pecah karena menetas itu diibaratkan seseorang yang berubah karena kesadaran diri. Efeknya muncul kehidupan yang baru, muncul sosok baru yang lebih baik dari sebelumnya karena dorongan tersebut datang dari dirinya sendiri.


Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan diri pada seseorang sangat  beragam sekali, tergantung dari masing-masing individu, dan yang paling penting perubahan tersebut tidak dapat dipaksakan. Terkadang kita sering sekali menemukan orang-orang yang diminta untuk berubah, menjadi lebih baik. Semua orang-orang terdekatnya menasehatinya untuk berubah, tapi hasilnya nol. Sedangkan di tempat dan waktu yang lain, mungkin ada juga orang yang tiba-tiba berubah dengan sendirinya tanpa ada yang meminta, tanpa ada yang memaksa.

Related Articles

0 comments:

Post a Comment