Filosofi Sebutir Telur
Suatu ketika saya sedang menonton sebuah acara
televisi. Acara tersebut menginspirasi kita sebagai umat muslim untuk melakukan
tetap istiqomah dalam Islam.
Di acara tersebut hadirlah seorang bintang
tamu yang namanya saya lupa, beliau adalah seorang pengusaha yang pada awalnya
pernah mengalami jatuh bangun seperti halnya pengusaha-pengusaha lain. Namun
yang menarik adalah ketika beliau bercerita tentang titik balik kebangkitannya
sehingga sekarang beliau bisa sukses.
Awalnya beliau adalah sosok yang bisa
dikatakan tidak ramah dalam berkomunikasi dengan orang lain, sehingga sempat
usahanya berada dalam jurang kebangkrutan. Kemudian beliau berintrospeksi diri,
sehingga akhirnya beliau menemukan sebuah filosofi dari sebutir telur.
Seperti kita tahu telur dapat dijadikan
sebagai bahan makanan atau lauk pauk. Untuk dapat menikmatinya, tentu kita
harus mengetuk cangkang telur agar isi telurnya dapat kita olah untuk kemudian
kita makan. Selain itu, jika si telur tersebut dierami oleh induknya, atau
disimpan dalam inkubator untuk ditetaskan, maka beberapa minggu kemudian akan lahir
individu baru dari dalam telur tersebut. Lalu apa menariknya?
Mari kita lihat persamaan diantara keduanya. Telur
yang akan dimasak dan ditetaskan, keduanya harus mengalami satu proses yang
sama yaitu mengetuk cangkangnya sampai retak dan terbelah.
Akan tetapi keduanya mempunyai perbedaan.
Telur yang akan dimasak diketuk dari luar, akibatnya cangkang itu hancur dan
isinya dikeluarkan. Cangkangnya dibuang dan isinnya kita makan, yap. Akhirnya
tidak ada yang berbekas dari telur itu. Sedangkan pada kasus telur yang
ditetaskan, cangkang telur diketuk-ketuk dari dalam, kemudian retak dan sebuah
kehidupan baru lahir.
Baiklah, kita cermati maknanya. Proses
pecahnya cangkang telur diibaratkan sebagai sebuah proses perubahan. Ketika
cangkang itu diketuk dari luar, artinya untuk mendapatkan suatu perubahan dalam
diri harus dilakukan atau dipaksa oleh orang lain. Contohnya seorang anak yang
tidak mau sholat kemudian dipaksa oleh orang tuannya untuk sholat, hasilnya
setiap waktu sholat anak tersebut harus dipaksa oleh orang tuanya. Tidak ada yang berbekas dari paksaan-paksaan
tersebut.
Sedangkan telur yang pecah karena menetas itu
diibaratkan seseorang yang berubah karena kesadaran diri. Efeknya muncul
kehidupan yang baru, muncul sosok baru yang lebih baik dari sebelumnya karena
dorongan tersebut datang dari dirinya sendiri.
Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan diri
pada seseorang sangat beragam sekali,
tergantung dari masing-masing individu, dan yang paling penting perubahan
tersebut tidak dapat dipaksakan. Terkadang kita sering sekali menemukan
orang-orang yang diminta untuk berubah, menjadi lebih baik. Semua orang-orang
terdekatnya menasehatinya untuk berubah, tapi hasilnya nol. Sedangkan di tempat
dan waktu yang lain, mungkin ada juga orang yang tiba-tiba berubah dengan
sendirinya tanpa ada yang meminta, tanpa ada yang memaksa.
0 comments:
Post a Comment