Waktu menunjukkan pukul 04.30 pagi ketika paman membangunkanku hari itu.
"Raka, bangun nak. Lekaslah ambil air wudhu, kita shalat berjamaah d mesjid."
"Ia paman", sahutku dengan mata setengah terkantuk.
Aku dan paman berjalan menuju sebuah mesjid yang ada di desa ini, aku terkejut ternyata banyak perubahan yang terjadi disini selama kutinggal kuliah empat tahun lebih. Sawah yang dulu terbentang luas, sedikit demi sedikit berubah menjadi dinding-dinding bata yang megah. Hanya beberapa petak tanah saja yang masih berupa sawah dan kebun, ya kebun.
"Paman, dimanakah sawah-sawah tempatku bermain dulu?" tanyaku iseng.
"Seperti yang kamu lihat, semua sudah berubah." jawab paman singkat.
"Lalu dimana anak-anak bermain sekarang? Di balik dinding-dinding bata itukah? Apa serunya main disana?"
"Jangan salah, desa ini masih memiliki sehamparan tanah yang masih berupa kebun, kebun yang indah. Kau pun pasti akan takjub melihatnya, ia berada di ujung desa, disana. Sepasang kakek-nenek pemilik tanah itu masih mempertahankan tanahnya sebagai kebun."
Pembicaraan kami pun terhenti ketika kami sampai di teras mesjid, aku dan paman menunaikan shalat subuh disana.
***
"Paman, aku penasaran dengan kebun yang tadi paman ceritakan, bolehkah aku pergi ke sana?"
"Pergilah, tapi paman tak bisa menemanimu karena harus mengantar bibimu ke pasar."
"Tak masalah paman, kurasa aku masih ingat jalan-jalan di desa ini."
Kulangkahkan kaki ke tempat yang paman ceritakan tadi, ternyata cukup jauh juga jaraknya. Mentari mulai mengintip dari balik awan ketika aku sampai. Subhanallah.. Sungguh elok yang kulihat, sepanjang mata memandang tampak kebun mawar yang begitu indah, berwarna warni. Mataku terpaku pada setangkai mawar merah yang begitu semerbak, hingga kutergoda untuk memetik dan membawanya pulang, namun tiba-tiba seseorang muncul dari belakang...
"Hati-hati mawar itu......"
Belum selesai suara itu, tanganku merasakan perih seperti tertusuk duri, dan suara itu menampakkan wujudnya.
"Kubilang hati-hati, mawar ini durinya sangat tajam. Kemarikan tanganmu biar ku obati."
Gadis itu mengeluarkan sapu tangan dari sakunya, dia membersihkan darah ditanganku dan menutupnya dengan plester.
"Terima kasih.. Maaf, kalau boleh tahu kamu siapa?" tanyaku.
"Namaku Mawar, kebun ini milik kakek dan nenekku. Aku disini membantu mereka mengurus kebun ini. Mawar yang tadi kamu petik itu memang yang paling indah disini, tapi kamu harus berhati-hati terhadapnya, durinya sanghat tajam."
"Aku Raka. Disini aku tinggal bersama pamanku, diujung sana."
"Ada perlu apa kamu kesini Mau beli mawar? Kami tidak menjualnya, siapapun boleh memetik mawar disini, tapi dengan seijin kami."
"Tidak, aku hanya main-main saja. Kebetulan aku sedang berlibur, ingin jalan-jalan mencari pemandangan yang segar. Pamanku menunjukkanku tempat ini, dan memang indah."
Gadis itu mengeluarkan gunting, dan memotong ranting-ranting mawar yang kering. Dalam kesibukannya aku bertanya,
"Kakek dan nenekmu suka sekali bunga mawar ya? Kebun seluas ini, isinya bunga mawar semua."
"Begitulah, mereka sangat sekali mawar, bahkan hingga mereka memberi namaku Mawar."
"Nama itu memang pantas untukmu, cantik. Tapi kenapa kalian sangat suka dengan bunga mawar?"
"Mawar itu bunga yang unik, dibalik keharuman dan kecantikannya menyimpan kepedihan. Pernahkah kamu berikir jika tangkai-tangkai mawar itu tak berduri? Keindahannya menjadi tidak berharga lagi, karena semua orang akan dengan seenaknya memetik bunga mawar itu, tanpa perlu khawatir tertusuk duri."
"Ya... seperti yang kualami tadi, perkenalan yang menyakitkan dengan setangkai mawar."
"Ini, bawalah pulang. Simpanlah dirumahmu, simpan didalam vas bunga yang berisi air agar bunganya tak cepat layu. Jika bunga ini telah layu, kau boleh kembali kesini, biar nanti kupetikan lagi." ucapnya seraya memberiku sekuntum mawar putih yang indah.
***
Aku kembali kerumah ketika mentari mulai menghangat. Sebuah pertemuan yang tak diduga, gadis itu punya paras yang cantik secantik kelopak mawar yang ia beri, dan dia punya sorot mata yang tajam setajam duri mawar. Tak tahu kenapa setelah pertemuan itu aku ingat tatapan matanya.
Keesokan hari, selepas shalat subuh di mesjid yang sama aku kembali ke kebun itu. Seperti kemasin, kedatanganku disapa sang mentari yang mengintip dari ufuk timur. Kuberdiri di tengh kebun, meluaskan pandanganku mencari sesosok gadis dengan matanya yang indah.
"Kamu nyari apa?" tiba-tiba suara itu kembali mengejutkanku.
"Aku tak mencari apa-apa, aku hanya sedang mencari seorang gadis cantik secantik mawar yang merawat kebun ini. Kamu." bibirnya tersenyum ketika aku menoleh kearahnya, pipinya merah merona tersamar bias oleh cahaya sang mentari.
"Kamu ini, baru kemarin kenal udah berani gombalin aku." ujarnya sambil tertawa kecil.
Kami berjalan berkeliling kebun sambil berbincang-bincang. Dari pembicaraan kami, aku menjadi tahu kalau orang tua Mawar tidak tinggal di desa ini, mereka merantau ke kota dan Mawar tinggal bersama dengan kakek dan neneknya semenjak kecil. Dan yang kutahu juga, kecintaannya terhadap bunga mawar sangatlah besar, ia sangat telaten dalam mengurus kebun ini.
"Kamu tahu Raka, setiap warna kelopak bunga mawar mempunyai arti tersendiri. Mawar putih misalnya, melambangkan cinta sejati, kemurnian, kesungguhan, kesucian, kelembutan serta kerendahan hati."
"Kalau mawar merah? Kulihat disini didominasi oleh bunga mawar merah."
"Mawar merah adalah favoritku, ia melambangkan cinta, kecantikan, keberanian, penghormatan, keromantisan. Biasanya mawar merah digunakan untuk mengungkapkan cinta."
Ia begitu hafal seluk beluk bunga mawar, sepanjang hari ia terus bercerita tentang mawar. Saking banyaknya ia bercerita, nyaris tak ada yang kuingat satupun apa yang diceritakannya.
***
Hari berganti hari, aku dan Mawar semakin dekat. Entah kenapa aku merasa nyaman didekatnya, senyumnya yang manis dan sorot matanya yang tajam membuatku terpesona.
Tak terasa dua bulan sudah aku disini, esok aku harus kembali ke kota untuk melangsungkan wisuda sarjanaku. Seperti hari-hari sebelumya, selepas shalat subuh aku pergi ke kebun menemui Mawar. Sebelum aku menemuinya, kusempatkan untuk memetik beberapa tangkai bunga mawar merah. Ya, hari ini aku akan menyatakan perasaanku kepadanya.
Kulihat Mawar duduk d teras rumahnya, sembari memotong daun-daun mawar yang kering. Ia melambaikan tangan kearahku seolah memanggilku kesana. Sekuntum mawar merah yang tadi kupetik, kusembunyikan di balik punggungku. Sambil berlutut didepannya, kuberikan mawar itu seraya berkata,
"Mawar, kuberikan sekuntum mawar merah ini untukmu. Aku mencintaimu." Pipinya merah merona, matanya berkaca-kaca, bibirnya menyimpan senyum yang tertahan.
"Mawar, esok aku harus pergi ke kota, mungkin sekitar seminggu. Setelah itu aku akan kembali lagi kesini, untuk melamarmu." ia memeluk erat mawar yang kuberi, ia tersenyum.
Dari dalam rumah terdengar suara kakenya memanggil, "Mawar, ada telepon untukmu. Dari ibumu.".
"Ia kek, tunggu sebentar." jawab Mawar kepada kakeknya.
"Raka, aku masuk dulu. Sebaiknya kamu pulang, berkemas untuk keberangkatanmu besok. Jaga dirimu baik-baik." Mawar pun pergi dengan melempar senyumnya yang manis.
***
Seminggu telah berlalu, aku kembali ke desa untuk memenuhi janjiku. Setelah menyimpan tas, aku pamit kepada paman untuk menemui Mawar. Sungguh perasaanku sangat bahagia, hari ini aku akan melamar Mawar. Kupercepat langkahku.
Langkahku tiba-tiba terhenti, mataku terperanga seolah tak percaya dengan apa yang kulihat. Kebun mawar yang sepekan kemarin begitu indah dengan bunga-bunganya yang bersemi, kini berubah tandus. Ada apa ini? Apa yang terjadi dengan kebun ini?
"Kebun ini diserang hama, dan sudah seminggu tak ada yang mengurusnya. Keluarga pemilik kebun ini pergi sejak seminggu yang lalu. Dan gadis itu meninggalkan ini untukmu." ucap seorang lelaki setengah baya yang aku sendiri tak tahu itu siapa. Ia memberiku sepucuk surat dan sekantung plastik yang entah apa isinya.
"Terima kasih." kuambil surat dan kantung itu, lelaki itu pun pergi.
Kududuk di pematang kebun yang kini sudah tandus, kubuka surat yang tadi lelaki itu berikan kepadaku...
---
Dear Raka,
Pertemuan ini begitu indah, seindah bunga mawar yang mekar di pagi hari. Namun sayang, sekalipun kita sadari kita tak akan pernah tahu kapan duri itu akan membuat kita terluka. Kau tahu Raka, aku begitu senang ketika mawar-mawar itu bersemi. Aku tak pernah melihat kebunku seindah itu sebelum kau datang. Dan sesungguhnya aku sangat senang berada dsana bersamamu. Sayangnya aku tak bisa, aku harus meninggalkan mawar-mawar yang sedang bersemi itu, dan membiarkannya mengering seiring berjalannya waktu.
Raka, maafkan aku. Aku tak bisa membalas mawar merah yang kau beri, kau masih ingat saat ibuku meneleponku sebelum kau pergi ke kota? Saat itu tanganku berdarah tertusuk duri saat menggenggam erat mawar merah yang kau beri, perih. Tapi aku tak bisa melepaskan genggamanku darinya, meskipun itu semakin membuatkku terluka. Raka, maafkan aku. Aku harus menikah dengan lelaki yang ibu pilihkan untukku.
Aku tak bisa memberimu sekuntum mawar merah, karena aku tak mau kau merasakan perih seperti yang kurasakan. Tapi aku titipkan bibit mawar ini untukmu, rawatlah, peliharalah dengan baik. Kelak ketika mawar itu berbunga, kau bisa memberikannya kepada wanita yang lebih baik dariku. Selama kau merawatnya, menjaganya, selama itu pula aku ada untukmu. Kita rawat mawar kita di kebun masing-masing, dari bibit yang sama. Cinta.
Raka, aku mencintaimu.
Salam rindu, Mawar.
---