Saturday, 18 June 2016

Diujung Pelangi

Gemerisik angin bernyanyi diantara dedauan dan menghempas embun pagi. Dingin. Dari teras rumah kutatap mentari yang mengintip di balik mega. Jingga yang indah. Dari dapur terdengar suara sendok yg memukul dinding-dinding cangkir, melarutkan pahitnya serbuk kopi dan manisnya gula.

"Di pagi sedingin ini enaknya minum secangkir kopi yang hangat." ujar paman sembari membawa dua cangkir kopi.

"Terima kasih paman."

"Apa yang sedang kau pikirkan nak?"

"Pelangi. Aku sudah lama tak melihat pelangi paman."

"Paman heran. Kenapa kau harus menanti pelangi yang datang begitu singkat?" tanya paman dengan seruput kopi pertamanya.

"Karena dia indah. Walau aku tak pernah tau kapan dia akan datang, dan berapa lama aku bisa menatapnya."

"Hidupmu terlalu singkat jika kau hanya duduk menanti pelangi yang bahkan ia tak pernah tahu bahwa kau menantikannya."

"Aku tahu paman. Aku tak menantikannya, aku hanya merindukannya."

Embun pagi mulai menguap terhempas riuh angin dan hangatnya mentari. Kopiku dingin tak tersentuh. Sejenak aku teringat sekantung bibit mawar yang diberikan oleh lelaki paruh baya yang kutemui di kebun mawar.

"Paman, sulitkah menanam biji mawar ini?"

"Tentu tidak. Kau hanya perlu menanamnya di tanah, disiram setiap hari, dan diberi pupuk."

"Lalu berapa lama mereka tumbuh?"

"Jangan bertanya berapa lama akan tumbuh, tapi pikirkanlah bagaimana mawar itu akan tumbuh nanti. Apa kau sanggup menyiraminya setiap hari? Apa kau sanggup menyiangi rumput-rumput liar disekitarnya? Dan apa kau siap tergores duri saat kau membersihkan daun dan ranting-ranting yang kering?"

Kusimpan kembali bibit mawar itu, lalu kuteguk kopiku yang sudah dingin. Pelangi memang tak datang pagi ini, tapi aku percaya ia akan datang suatu saat nanti. Dan untukmu pelangi, aku masih disini. Menunggumu datang untuk bercengkerama, berbicara tentang waktu yang terlewatkan. Aku menunggumu, diujung pelangi.



Jika kau tak dapat melihat pelangi, setidaknya kau bisa melihat awan yang akan selalu ada meski kau tak pernah merindukannya.

Related Articles

0 comments:

Post a Comment